Hampir 61 Ribu Anak di Kalsel Tidak Sekolah, Kabupaten Banjar Tertinggi

BANJARMASIN, Lensa-Banua. Com — Persoalan pendidikan kembali menjadi sorotan tajam di Kalimantan Selatan. Hingga Juli 2025, tercatat sebanyak 60.996 anak di Kalsel tidak mengenyam bangku sekolah, sebuah angka yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Data ini disampaikan Kepala Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Kalsel, Yuli Haryanto, dalam kegiatan konsinyering yang digelar di Gedung Batas Kota, Banjarmasin, Selasa (22/7), yang turut melibatkan puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
“Anak tidak sekolah ini terdiri dari berbagai kategori, mulai dari yang putus sekolah, lulus namun tidak melanjutkan, hingga yang belum pernah sekolah sama sekali,” ujar Yuli di hadapan peserta.
Tiga wilayah penyumbang angka tertinggi anak tidak sekolah adalah Kabupaten Banjar sebanyak 10.542 anak, disusul Kotabaru dengan 8.341 anak, dan Kota Banjarmasin mencapai 7.378 anak.
Menurut Yuli, angka ini merupakan alarm serius yang memerlukan tindakan kolaboratif lintas sektor. Ia menekankan perlunya keterlibatan semua pihak, khususnya pemerintah provinsi, untuk mengurai kompleksitas permasalahan ini.
“Kami sangat berharap ada campur tangan nyata, terutama dari pemerintah provinsi, dalam menangani persoalan anak tidak sekolah ini. Tidak bisa hanya mengandalkan satu institusi,” tegasnya.
Masalah keterbatasan infrastruktur pendidikan pun tak luput dari perhatian. Dalam kesempatan yang sama, Yuli mengungkap bahwa lebih dari 800 sekolah di Kalsel mengalami kerusakan, sebagian di antaranya dalam kondisi berat. “Kondisi fisik sekolah yang tidak layak juga turut berkontribusi terhadap rendahnya minat dan akses anak untuk bersekolah,” ujarnya.
“Ini pekerjaan rumah besar bagi Dinas Pendidikan, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Harus ada sinergi dan pemetaan ulang,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Prov. kalsel, Dr. Ir. Hj. Galuh Tantri Narinda, S.T., M.T., menyebut tingginya jumlah anak tidak sekolah sebagai cerminan krisis sistemik. Ia menilai perlu adanya pendekatan yang lebih komprehensif, tidak hanya dengan program insidental.
“Kita bicara soal ekosistem pendidikan yang inklusif. Bukan hanya bangku sekolah, tapi juga akses, fasilitas, tenaga pengajar, serta dukungan keluarga,” ucap Galuh Tantri.
Ia mendorong agar kebijakan pendidikan lebih responsif terhadap kondisi daerah, termasuk tantangan geografis dan sosial ekonomi di Kalsel.
Di tengah berbagai persoalan yang terungkap, forum tersebut sepakat bahwa data ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cermin nyata wajah pendidikan di Kalsel saat ini. Semua pihak, mulai dari pemerintah, legislatif, akademisi, hingga masyarakat sipil, diharapkan bisa mengambil peran aktif dalam menyelesaikan krisis anak tidak sekolah.
“Kita harus bergerak bersama. Pendidikan adalah hak anak dan tanggung jawab kita semua,” pungkas Galuh.
Admin