Sengketa Aset Pergudangan Di Liang Anggang Memanas, Kontainer Disebut Jadi Alat Intimidasi

Barang Bukti Kontainer

Banjarbaru, Lensa Banua. – Sengketa kepemilikan dan penggunaan aset pergudangan di kawasan Liang Anggang kembali mencuat ke permukaan. Zainal, yang mengaku sebagai pemohon eksekusi dalam perkara ini, menyatakan keberatannya atas penggunaan objek sita eksekusi oleh pihak lain untuk kepentingan pribadi.

Menurut Zainal, aset yang telah dikenai sita eksekusi seharusnya hanya diamankan dan tidak dimanfaatkan secara komersial. Namun, sejak tahun 2016, ia mengklaim aset tersebut masih aktif digunakan. “Kami meminta agar objek sita eksekusi segera dikembalikan dan tidak lagi digunakan menjelang pelaksanaan eksekusi pada waktu yang telah ditentukan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Rabu (4/6).

Zainal juga menilai bahwa pemanfaatan objek sita di luar kesepakatan awal berpotensi menimbulkan kerugian dan mengganggu proses hukum. Ia menyebut bahwa proses eksekusi telah dijadwalkan dan akan segera dilaksanakan oleh aparat berwenang.

Namun, pernyataan Zainal dibantah oleh pihak PT Puji Surya Indah melalui kuasa hukumnya, Dino Wijaya Erwan Putra dari Law Firm DW & Partners. Dino menegaskan bahwa pihaknya tidak mengenal Zainal, dan menyatakan bahwa pemohon eksekusi yang diketahui dalam perkara ini adalah Hariyansah Limantara, sesuai dokumen yang ia perlihatkan kepada awak media.

Lebih lanjut, Dino menjelaskan bahwa kliennya pernah melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara bawah tangan dengan nilai transaksi sebesar Rp6.315.375.000. Pembayaran awal sebesar Rp2 miliar telah diserahkan dalam dua tahap, yakni Rp1,5 miliar dan Rp500 juta.

“Kami keberatan karena nilai sisa pembayaran yang awalnya disepakati sebesar Rp4.315.000.000 kemudian berubah menjadi Rp5.000.000.000. Setelah melalui proses mediasi yang difasilitasi Ketua Pengadilan Negeri Banjarbaru, akhirnya disepakati menjadi Rp4.875.000.000,” ujar Dino.

Dino juga mengkritik keras tindakan pemohon eksekusi yang disebut-sebut memasang kontainer di depan pintu masuk gudang milik kliennya. Ia menilai aksi tersebut sebagai bentuk intimidasi dan tidak mencerminkan proses hukum yang beradab. “Menutup akses masuk dengan kontainer adalah tindakan yang tidak sepatutnya, dan kami anggap sebagai bentuk premanisme,” tegasnya.

Saat ini, para pihak masih menunggu pelaksanaan eksekusi oleh aparat berwenang. Kedua belah pihak berharap proses hukum dapat berjalan secara adil, profesional, dan tanpa intimidasi.

 

Deni